Ibu
Rumah Tangga & Dukun Cabul
Namaku Salmiah. Aku seorang guru berusia
26 tahun. Di kampungku di daerah Sumatera, aku lebih dikenal dengan panggilan
Bu Miah. Aku ingin menceritakan satu pengalaman hitam yang terjadi pada diriku
sejak enam bulan yang lalu dan terus berlanjut hingga kini. Ini semua terjadi
karena kesalahanku sendiri. Kisahnya
begini, kira-kira enam bulan yang lalu aku mendengar cerita kalau suamiku ada
hubungan gelap dengan seorang guru di sekolahnya.
Suamiku juga seorang guru di sekolah
menengah di kampungku. Dia lulusan perguruan tinggi lokal sedangkan aku cuma
seorang guru pembantu. Tanpa mencek lebih lanjut kebenarannya, aku langsung
mempercayai cerita tersebut. Yang
terbayangkan saat itu cuma nasib dua anakku yang masih kecil. Secara fisik,
sebetulnya aku masih menawan karena kedua anakku menyusu botol. Cuma biasalah
yang namanya lelaki, walau secantik apapun isterinya, tetap akan terpikat
dengan orang lain, pikirku.
Diam-diam aku pergi ke rumah seorang
dukun yang pernah kudengar ceritanya dari rekan-rekanku di sekolah. Aku pergi
tanpa pengetahuan siapa pun, walau teman karibku sekalipun. Pak Itam adalah
seorang
dukun yang tinggal di kampung seberang,
jadi tentulah orang-orang kampungku tidak akan tahu rahasia aku berjumpa
dengannya. Di situlah berawalnya titik hitam dalam hidupku hingga hari ini.
Pak Itam orangnya kurus dan pendek.
Tingginya mungkin tak jauh dari 150 cm. Kalau berdiri, ia hanya sedadaku.
Usianya kutaksir sekitar 40-an, menjelang setengah abad. Ia mempunyai janggut
putih yang cukup
panjang. Gigi dan bibirnya menghitam
karena suka merokok.
Aku masih ingat saat itu Pak Itam
mengatakan bahwa suamiku telah terkena guna-guna orang. Ia lalu membuat suatu
ramuan yang katanya air penawar untuk mengelakkan diriku dari terkena santet
wanita tersebut dan menyuruhku meminumnya. Setelah kira-kira lima menit meminum
air penawar tersebut kepalaku menjadi ringan. Perasaan gairah yang tidak dapat
dibendung melanda diriku secara tiba-tiba.
Pak Itam kemudian menyuruhku berbaring
telentang di atas tikar ijuk di ruang tamu rumahnya. Setelah itu ia mulai
membacakan sesuatu yang tidak kupahami dan menghembus berulang kali ke seluruh
badanku. Saat
itu aku masih lengkap berpakaian baju
kurung untuk mengajar ke sekolah pada petangnya.
Setelah itu aku merasa agak mengkhayal.
Antara terlena dan terjaga aku merasakan tangan Pak Itam bermain-main di
kancing baju kurungku. Aku tidak berdaya berbuat apa-apa melainkan merasakan
gairah yang amat sangat dan amat memerlukan belaian lelaki. Kedua buah dadaku
terasa
amat tegang di bawah braku. Putingku
terasa menonjol. Celah kemaluanku terasa hangat dan mulai becek.
Aku dapat merasakan Pak Itam mengangkat
kepalaku ke atas bantal sambil membetulkan tudungku. Selanjutnya ia
menanggalkan pakaianku satu-persatu. Setelah aku berbaring tanpa sehelai
pakaian pun kecuali
tudungku, Pak itam mulai menjilat bagian
dadaku dahulu dan selanjutnya mengulum puting tetekku dengan rakus. Ketika itu
aku terasa amat berat untuk membuka mata.
Setelah aku mendapat sedikit tenaga
kembali, aku merasa sangat bergairah. Kemaluanku sudah mulai banjir. Aku
berhasil menggerakkan tanganku dan terus menggapai kepala Pak Itam yang sedang
berada di
celah selangkanganku. Aku menekan-nekan
kepala Pak Itam dengan agak kuat supaya jilatannya lidahnya masuk lebih dalam
lagi. Aku mengerang sambil membuka mataku yang lama terpejam.
Alangkah terkejutnya aku saat aku
membuka mataku terlihat dalam samar-samar ada dua sosok lain sedang duduk
bersila menghadapku dan memandangku dengan mata yang tidak berkedip.
“Bu Miah,” tegur seorang lelaki yang
masih belum kukenali, yang duduk di sebelah kanan badanku yang telanjang bulat.
Setelah kuamat-amati barulah aku bisa mengenalinya.
“Leman,” jeritku dalam hati. Leman
adalah anak Pak Semail tukang kebun sekolahku yang baru saja habis ujian
akhirnya. Aku agak kalang kabut dan malu. Aku coba meronta untuk melepaskan
diri dari genggaman Pak Itam.Menyadari bahwa aku telah sadarkan diri, Pak Itam
mengangkat kepalanya dari celah selangkanganku dan bersuara. “Tak apa Bu,
mereka berdua ini anak murid saya,” ujarnya sambil jarinya bermain kembali
menggosok-gosok kemaluanku yang basah kuyup.
Sebelah lagi tangannya digunakan untuk
mendorong kembali kepalaku ke bantal. Aku seperti orang yang sudah kena sihir
terus berbaring
kembali dan melebarkan kangkanganku
tanpa disuruh. Aku memejamkan mata
kembali. Pak Itam mengangkat kedua
kakiku dan diletakkannya ke atas
bahunya. Saat dia menegakkan bahunya,
punggungku juga ikut terangkat.
Pak Itam mulai menjilat kembali bibir
vaginaku dengan rakus dan terus
dijilat hingga ke ruang antara vagina
dan
duburku. Saat lidahnya yang basah itu
tiba di bibir duburku, terasa
sesuatu yang menggelikan bergetar-getar
di situ. Aku merasa kegelian
serta nikmat yang amat sangat.
“Leman, Kau pergi ambil minyak putih di
ujung tempat tidur. Kau Ramli,
ambil kemenyan dan bekasnya sekalian di
ujung itu,” perintah Pak Itam
kepada kedua anak muridnya.
Aku tersentak dan terus membuka mata.
“Bu ini rawatan pertama, duduk ya,”
perintah Pak Itam kepadaku.
Aku seperti kerbau dicocok hidung
langsung mengikuti perintah Pak
Itam. Aku duduk sambil sebelah tangan
menutup buah dadaku yang tegang
dan sebelah lagi menggapai pakaianku
yang berserakan untuk menutup
bagian kemaluanku yang terbuka.
Setelah menggapai baju kurungku,
kututupi bagian pinggang ke bawah dan
kemudian membetulkan tudungku untuk
menutupi buah dadaku.
Setelah barang-barang yang diminta
tersedia di hadapan Pak Itam,
beliau menerangkan rawatannya. Kedua
muridnya malu-malu mencuri
pandang ke arah dadaku yang kucoba
tutupi dengan tudung tetapi tetap
jelas kelihatan kedua payudaraku yang
besar dan bulat di bawah tudung
tersebut.
“Ini saya beritahu Ibu bahwa ada sihir
yang sudah mengenai
bagian-bagian tertentu di badan Ibu.
Punggung Ibu sudah terkena
penutup nafsu dan perlu dibuang.”
Aku cuma mengangguk.
“Sekarang Ibu silakan tengkurep.”
Aku memandang tepat ke arah Pak itam dan
kemudian pandanganku beralih
kepada Leman dan Ramli.
“Nggak apa-apa, Bu… mereka ini sedang
belajar, haruslah mereka
lihat,” balas Pak Itam seakan-akan
mengerti perasaanku.
Aku pun lalu tengkurep di atas tikar
ijuk itu. Pak Itam menarik kain
baju kurungku yang dirasa mengganggunya
lalu dilempar ke samping.
Perlahan-lahan dia mengurut punggungku
yang pejal putih berisi dengan
minyak yang tadi diambilkan Leman. Aku
merasa berkhayal kembali,
punggungku terasa tegang menahan
kenikmatan lumuran minyak Pak Itam.
Kemudian kurasakan tangan Pak Itam
menarik bagian pinggangku ke atas
seakan-akan menyuruh aku menungging
dalam keadaan tengkurep tersebut.
Aku memandang ke arah Pak itam yang
duduk di sebelah kiri punggungku.
“Ya, angkat punggungnya,” jelasnya
seakan memahami keraguanku.
Aku menurut kemauannya. Sekarang aku
berada dalam posisi tengkurep,
muka dan dada di atas tikar sambil
punggungku terangkat ke atas. Pak
Itam mendorong kedua kakiku agar
berjauhan dan mulai melumurkan minyak
ke celah-celah bagian rekahan punggungku
yang terbuka.
Tanpa dapat dikontrol, satu erangan
kenikmatan terluncur dari mulutku.
Pak Itam
menambahkan lagi minyak di tangannya dan
mulai bermain di bibir
duburku. Aku meremas bantal karena
kenikmatan. Sambil melakukan itu,
jarinya berusaha mencolok lubang
duburku.
“Jangan tegang, biarkan saja,” terdengar
suara Pak Itam yang agak serak.Aku coba merilekskan otot duburku dan
menakjubkan… jari Pak Itam
yang licin berminyak dengan mudah masuk
sehingga ke pangkal. Setelah
berhasil memasukkan jarinya, Pak Itam
mulai menggerakkan jarinya
keluar masuk lubang duburku.
Aku coba membuka mataku yang kuyu karena
kenikmatan untuk melihat
Leman dan Ramli yang sedang membetulkan
sesuatu di dalam celana
mereka. Aku jadi merasakan semacam
kenikmatan pula melihat mereka
sedang memperhatikan aku diterapi Pak
Itam. Perasaan malu terhadap
kedua muridku berubah menjadi gairah
tersembunyi yang seolah melompat
keluar setelah lama terkekang!
Setelah perjalanan jari Pak Itam lancar
keluar masuk duburku dan
duburku mulai beradaptasi, dia mulai
berdiri di belakangku sambil
jarinya masih terbenam mantap dalam
duburku. Aku memandang Pak Itam
yang sekarang menyingkap kain sarungnya
ke atas dengan satu tangannya
yang masih bebas. Terhunuslah
kemaluannya yang panjang dan bengkok ke
atas itu. Tampak sudah sekeras batang
kayu!
“Bbbbuat apa ini, Pak….” tanyaku dengan
gugup.
“Jangan risau… ini buat buang sihir,”
katanya sambil melumur minyak
ke batang kemaluannya yang cukup besar
bagi seorang yang kurus dan
pendek. Selesai berkata-kata, Pak Itam
menarik jarinya keluar dan
sebagai gantinya langsung menusukkan
batangnya ke lubang duburku.
“ARRrgggghhggh…” spontan aku terjerit
kengiluan sambil mengangkat
kepala dan dadaku ke atas. Kaki bawahku
pun refleks terangkat ke atas.
“Jangan tegang, lemaskan sedikit!”
perintah Pak Itam sambil
merenggangkan daging punggungku. Aku
berusaha menuruti perintahnya.
Setelah aku melemaskan sedikit ototku,
hampir separuh batang Pak Itam
terbenam ke dalam duburku.
Aku melihat Leman dan Ramli sedang
meremas sesuatu di dalam celana
masing-masing. Setelah berhasil
memasukkan setengah zakarnya Pak itam
menariknya keluar kembali dan lalu
memasukkannya kembali sehingga
semua zakarnya masuk ke dalam rongga
duburku. Dia berhenti di situ.
“Sekarang Ibu merangkak mengelilingi
bara kemenyan ini tiga kali,”
perintahnya sambil zakarnya masih
terbenam mantap dalam duburku.
Aku sekarang seakan-akan binatang yang
berjalan merangkak sambil zakar
Pak Itam masih tertanam dengan mantapnya
di dalam duburku. Pak Itam
bergerak mengikutiku sambil memegangi
pinggangku.
“Pelan-pelan saja, Bu,” perintahnya
sambil menahan pinggangku supaya
tidak bergerak terlalu cepat. Rupanya ia
takut penisnya terlepas
keluar dari lubang duburku saat aku
bergerak. Aku pun mematuhinya
dengan bergerak secara perlahan.
Kulihat kedua murid Pak Itam sekarang
telah mengeluarkan zakar
masing-masing sambil bermasturbasi
dengan melihat tingkahku. Aku
merasa sangat malu tetapi di lain pihak
terlalu nikmat rasanya. Zakar
Pak Itam terasa berdenyut-denyut di
dalam duburku. Aku terbayang wajah
suamiku seakan-akan sedang memperhatikan
tingkah lakuku yang sama
seperti binatang itu.
Sementara aku merangkak sesekali Pak
Itam menyuruhku berhenti sejenak
lalu menarik senjatanya keluar dan lalu
menusukku kembali dengan ganas
sambil mengucapkan mantera-mantera.
Setiap kali menerima tusukan Pak
Itam setiap kali itu pula aku mengerang
kenikmatan. Lalu Pak Itam pun
akan menyuruhku untuk kembali merangkak
maju. Demikian berulang-ulang
ritual yang kami lakukan sehingga tiga
keliling pun terasa cukup lama.
Setelah selesai tiga keliling, Pak Itam
menyuruhku berhenti dan mulai
menyetubuhiku di dubur dengan cepat.
Sebelah tangannya memegang
pinggangku kuat-kuat dan sebelah lagi
menarik tudungku ke belakang
seperti peserta rodeo. Aku menurut
gerakan Pak Itam sambil
menggoyang-goyangkan punggungku ke atas
dan ke bawah.
Tiba-tiba kurasakan sesuatu yang panas
mengalir di dalam rongga
duburku. Banyak sekali kurasakan cairan
tersebut. Aku memainkan
kelentitku dengan jariku sendiri sambil
Pak Itam merapatkan badannya
memelukku dari belakang. Tiba-tiba sisi
kiri pinggangku pun terasa
panas dan basah. Leman rupanya baru saja
orgasme dan air maninya
muncrat membasahi tubuhku.
Lalu giliran Ramli mendekatiku dan
merapatkan zakarnya yang yang berwarna
gelap ke sisi buah dadaku. Tak lama
kemudian air maninya muncrat
membasahi ujung putingku. Aku terus mengemut-ngemut
zakar Pak Itam
yang masih tertanam di dalam duburku dan
bekerja keras untuk mencapai
klimaks.
“Arghhhhhhhrgh…” Aku pun akhirnya
klimaks sambil tengkurep di atas
tikar ijuk.
“Ya, bagus, Bu…” kata Pak Itam yang
mengetahui kalau aku mengalami
orgasme. “Dengan begitu nanti
guna-gunanya akan cepat hilang.”
Pak Itam lalu mencabut zakarnya dan
melumurkan semua cairan yang
melekat di zakarnya ke atas punggungku
sampai batangnya cukup kering.
“Jangan basuh ini sampai waktu magrib
ya,” katanya mengingatkanku
sambil membetulkan kain sarungnya.
Aku masih lagi tengkurep dengan tudung
kepalaku sudah tertarik hingga
ke leher. Aku merasakan bibir duburku
sudah longgar dan berusaha
mengemut untuk menetralkannya kembali.
Setelah itu aku bangun dan
memunguti pakaianku yang berserakan satu
per satu.
Selesai mengenakan pakaian dan bersiap
untuk pulang setelah
dipermalukan sedemikian rupa, Pak Itam
berpesan.
“Besok pagi datang lagi ya, bawa sedikit
beras bakar.”
Aku seperti orang bodoh hanya mengangguk
dan memungut tas sekolahku
lalu terus menuruni tangga rumah Pak
itam.
Sejak itu sampai hari ini, dua kali
seminggu aku rutin mengunjungi Pak
Itam untuk menjalani terapi yang
bermacam-macam. Leman dan Ramli yang
sedang belajar pada Pak Itam sedikit
demi sedikit juga mulai
ditugaskan Pak Itam untuk ikut
menterapiku. Walaupun tidak tahu pasti,
aku merasa bahwa suamiku perlahan-lahan
mulai meninggalkan affairnya.
Yang pasti, kini sulit rasanya bagiku
untuk menyudahi terapiku bersama
Pak Itam dan murid-muridnya. Sepertinya
aku sudah kecanduan untuk
menikmati terapi seperti itu.
-tamat-
Tidak ada komentar:
Posting Komentar